Reruntuhan Senja di Kota Seribu Janji
Reruntuhan Senja di Kota Seribu Janji
Ia datang ke kota ini bertahun lalu, membawa sekoper penuh harapan, percaya bahwa Jakarta adalah ibu kota keajaiban, tempat di mana uang berteriak dan impian menjadi kenyataan. Awalnya, ia merasa seolah dunia berada dalam genggamannya. Setiap pagi, gedung-gedung pencakar langit menjulang angkuh seakan menyambut kedatangannya.
Namun, kenyataan adalah pedang bermata dua. Setelah tiga tahun, ia hanya menjadi seonggok sampah di antara jutaan manusia. Setiap pekerjaan yang ia dapat, hanya sebatas remah-remah roti kering dari meja orang kaya. Ia membanting tulang siang dan malam, tetapi dompetnya selalu tertawa hampa.
"Kau memang bodoh sekali, Arya!" bisik suara kecil di kepalanya, menirukan cemoohan mantan bosnya yang selalu bicara setajam silet. Tiba-tiba, ia teringat nasihat ayahnya di desa, "Nak, hidup itu keras, tetapi jangan sampai hatimu ikut membatu."
Air mata Arya tumpah ruah bagai sungai tak terbendung. Ia tahu ia harus bangkit. Ia adalah prajurit tak terkalahkan dalam perang melawan nasib. "Aku akan berjuang! Aku akan bangkit! Aku akan menang!" tekadnya, suaranya parau namun penuh penegasan.
Malam telah tiba. Angin malam mengelus pipinya lembut. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkelip-kelip, mata-mata harapan yang tak pernah padam. Arya menarik napas panjang. Dari kegelapan menuju terang ia bangkit. Kota seribu janji itu masih menunggunya untuk menepati janji pada dirinya sendiri.
Soal
- Tuliskanlah majas atau gaya bahasa yang terdapat dalam bacaan.
Jika pergi ke sungai, jangan menyebut cowok, karena cowok itu adalah buaya
BalasHapusReyhan Al faresi (X.7)
BalasHapusContoh majas enifora :
Ubi ku tanam , ubiku tunbuh , ubi ku kh panen