Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DE JAVU | PART 1

Gambar DE JAVU |  PART 1
gambar dari googel

Saya mempunyai suatu kebiasaan, dan barangkali pula kita sama seringnya mengulang-ulang kebiasaan ini.

Menyengaja De Javu, De Javu yang dibuat-buat. Entahlah, kalau De Javu semacam itu masih pantas disebut De Javu atau tidak lagi. Poin paling pentingnya, saya selalu melakukannya ketika sedang belajar untuk merelakan sesuatu, semacam berpamitan untuk perpisahan. Bagi saya, cara paling awal untuk merelakan sesuatu yang tidak mampu lagi untuk diraih, adalah berpamitan. Atau sekadar ingin mengulang masa, karena sedang benar-benar tidak tahan merindu.

Berkunjung ke tempat yang ada keterkaitan dengan sesuatu yang akan diikhlaskan, tempat dengan memori yang tidak lekang. Dan berhari-hari kemarin, I did it.

"Suatu hari. Suatu waktu. Ketika kita dipertemukan kembali, tanyakan kepada hati; apakah kita akan mengulang cerita lalu atau mengisinya dengan yang baru?" - Robin Wijaya, ROMA.

Akhir pekan kemarin, saya dan beberapa teman melawat ke Malino, daerah puncak yang kalau dengan menaiki bis harus menyempatkan waktu sekitar tiga jam dari Makassar. Bukan lawatan untuk hanya bersenang-senang saja, ada sebuah agenda besar yang sungguh besar.

Di awal perjalanan saja, saya sudah mulai membanding-bandingkan dengan pengalaman sebelumnya. Memang beberapa waktu lalu, saya mendapati sesuatu yang nyaris sama, keluar kota dengan semua teman redaksi. Boleh saya mencap kalau perjalanan kemarin sudah jauh tidak sama seperti dulu. Ya, saya menikmati perjalanannya, bahkan sangat. Daerah yang dilewati sepanjang jalan sampai tujuan adalah salah satu tempat paling mengagumkan. Namun beberapa hal masih terasa begitu kurang, semisal bisa, saya ingin mengulang sebelumnya. Baiklah, beberapa hal memang butuh sesuatu yang baru, supaya tidak terasa begitu membosankan.

Saya hanya merasa perlu menceritakan beberapa hal, suasana yang amat dirindukan itu, yang tak lagi sama dengan sebelumnya. Aturan kursi penumpang bis sangat tidak mirip dengan aturan beberapa waktu lalu, meskipun memang tidak ada aturan jelas tentang dia duduk di sini dan dia yang lain duduk di sana. Beberapa teman lain lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi, dan menyisakan banyak tempat duduk di bis. Hampir semua hal berbeda, seperti laku dua orang teman yang dulunya pernah saling berbalas gombal hanya mampu saling diam. Yang di depan membelakangi, yang di belakang memandang tak tentu. Pun, seorang teman yang biasanya paling banyak bertingkah, menjadi paling kalem di perjalanan. Saya paham, ia sedang tidak cukup sehat untuk banyak bergerak. Untuk banyak menit yang terlewatkan, di jalan hanya ada bebunyian mesin kendaraan yang menembus angin terdengar nyaring. Lainnya hening, dan menjadi agak membosankan.

Ada banyak tempat duduk yang tak terisi, tetapi saya justru lebih memilih bergelayutan di pintu bis sepanjang supir mengendalikan kemudinya. Tujuan saya, ingin lebih banyak memandang ke luar, memandang tiap-tiap yang dilalui. Ini pun sebenarnya, ada yang terlalu kentara kurangnya. Saya tidak mendapati lagi seorang penikmat langit bersisian, untuk sekadar berbagi deskripsi apa yang menaungi kepala. Makanya saya hanya berasumsi sendiri, sore di Juni masih beratap langit berwarna lazuardi, dan beberapa awan kumulus yang menggumpal serupa kapas. Terlalu banyak awan sampai matahari kadang menyembul, kadang menyembunyikan diri. Sampai terbenam di bawah garis horison pun, matahari tak begitu nampak, selain karena terhalang dataran yang relatif tinggi. Saya dan teman-teman tiba di Malino.

Ah, saya tidak lupa, beberapa tahun lalu pernah mendatangi kota kembang di Sulawesi ini untuk keperluan perjalanan studi sehari. Kala itu, meneliti usaha budidaya jamur merang. Saya sempat melewati rumah produksinya, dan menemukan kondisi yang sama sekali berbeda. Rumah produksi yang sempat saya datangi, saat ini tak ubah layaknya gudang yang lama tak ditinggali. Selintas, saya merindukan lagi beberapa teman dan guru pendamping saat itu. Setidaknya, dengan menemui tempat itu, saya merasa berjumpa lagi dengan mereka. Ingatan saya cukup kuat untuk mereka ulang langkah demi langkah ketika saya masih kelas X itu. Di lain kesempatan pula, saya menelusuri daerah bukit-lembah ini, karena pelepasan status "putih abu-abu". Beberapa tempat yang disinggahi, pun masih enggan lekas dari ingatan. Semoga, selamanya begini saja, supaya saya tidak melupa pula beberapa teman terbaik saat itu. Overall, Malino is also worth for me, even so very much!.


Posting Komentar untuk "DE JAVU | PART 1"