Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CERITA RUMAH SEPI


 

Gambar Cerpen Rumah Sepi

 RUMAH SEPI

    Dingin membungkus malam. Di langit, jutaan jutaan mutiara malam berhamburan ditemani purnama cantik bertasbih. Angin sepoi perlahan menyentuh butir-butir embun di tubuh rerumputan yang juga mengucap puji salami malamNya.
    Di kamar aku gerah, kuraih mantel biru tuaku. Sejurus kemudian aku telah berada di rumah Sofyan. Kutemui ia sedang melakukan aktifitas senggangnya, yakni menulis cerpen lagi. Yah, rutinitas yang sudah kurang lebih enam tahun ia tekuni. Entah ia menulis untuk apa, sesekali pun bila kutanya, buat apa menulis cerpen Sof?. Ia hanya menjawab dengan kalimat yang sama “ aku ingin jadi cerpenis yang terkenal Rul!” dan bila kutanyakan lagi, Untuk apa terkenal?. Iapun hanya menambahkan dengan kalimat “ setidaknya untuk kubanggakan kelak Rul!”. Setelah ia menjawab dengan kalimat-kalimat seperti itu, ia pasti tak lagi mau bicara. Ia pasti lebih memilih diam dan tenggelam dalam imajinasi-imajinasinya, hanya dia sendiri yang di sana, mungkin berbicara dengan malaikat, Tuhan, atau mungkin pada dirinya sendiri. Entahlah.
    Pernah suatu waktu, kala ia kutemui sedang menulis cerpen di bawah rimbunan pohon depan mesjid. Aku mengajaknya untuk shalat. Tapi ia hanya mengatakan,” sebentar, aku menyusul. Kau saja duluan”. Dan setelah aku shalat, aku masih menemuinya masih di ttujuhnya. Tak bergeming sedikitpun. Seperti patung sedang merenung. Saat kuhampiri, ternyata ia telah menyelesaikan tujuh cerpen. Dan saat aku mencoba duduk di dekatnya ia berkata “ kau doakan aku juga kan?, yah, doakan aku juga dong sekali-kali…”
    Sesaat kemudian ia menyuruhku untuk membaca cerpenya. Aku pun membacanya. Ternyata ia hebat menulis cerpen, kemampuan bahasanya mengungkapkan hal-hal bagiku sudah sangat hebat, ternyata ia hebat mengungkap masalah-masalah politik, ekonomi, religius, seni dan budaya dalam cerpennya. Wah..sungguh sangat hebat. Tapi, diam-diam aku merasa takut sendiri setelah membaca cerpen Sofyan. Entah dari segi mananya aku merasakan tiba-tiba takut, aneh. Ia tahu hal-hal kecil, tahu mengungkapkan sendi-sendi kehidupan, bahkan sampai mengatasi konflik masalah, ia pandai menyelesaikannya dengan imajinasinya. Tapi,…tapi…mengapa ia selalu menolak dan jarang untuk beribadah setiap kali kuajak.  
    Pernah aku tanyakan padanya, apakah penulis cerpen atau seniman begitu?. Ia hanya terdiam, sejenak menelanjaniku dengan sorot matanya yang tajam. Setelah itu, ia berkata” tidak semua, tapi kebanyakan begitu” jawabnya dengan meyakinkan ,belum stujuh aku bertanya, ia langsung bercerita.“Rul, kalau kau mau tau. Pekerjaan penyair ataupun seniman itu sebenarnya pekerjaan untuk mengungkap kebenaran. Kebenaran yang betul-betul benar. kami berkarya untuk menyampaikan kepada publik tentang kebenaran melalui tulisan, pementasan, dan semacamnya dalam hal seni. Seperti halnya Ustad. Yah, kurang lebih begitulah. Tapi kami jalurnya lain. Lainya itu, yah di jalur seni. Kami menganggap kebodohan, penipuan, KKN, penindasan dan sebagainya untuk diketahui oleh publik bahwa yang benar itu, benar, yang salah itu salah. Maka kami berharap dengan itu adalah hal yang baik. Rul, asal kamu tahu, walau terkadang kami jarang shalat, puasa bahkan. Tapi kami tetap menyakini Agama. Agama itu keyakinan yang sebenarnya bukan? Makanya kami yakini. Tapi kurasa Shalat dan semisalnya , itu nanti diusia tertentu. Mungkin setelah kami terkenal, atau setelah berpunya. Tapi sebenarnya kami juga tahu itu penahan yang salah, tapi, yah… begitulah kami. Kuharap kau bisa mengerti Rul. Dan doakan aku semoga buku ini laris lagi biar jadi Big Saller.                             
Setelah ia berbicara tentang semua itu, aku hanya tersenyum. Walau sebenarnya aku ingin bertanya satu hal, tapi kuurungkan saja. Aku hanya ragu, jangan sampai ia tak mau lagi berteman denganku.      
Di dalam kamar sopyan, kurebahkan tubuhku di kasur miliknya. Ku pandangi langit-langit karena khayalanku terbang menembus kelangit. Lalu Di atas sana kulihat sebait ayat bertuliskan kalimat yang membuatku terperayut ayat di Alqur’an yang bertuliskan Surah ASYSYU’ARAA’ayat 224-227. Seketikaaku terjerembab dan kembali ke alam sadarku. Di sudut ruangan dalam kamar dekat aku berbaring. Sopyan masih saja menulis cerpen. Diam-diam aku bertanya dalam hati. Apakah kebenaran itu keikhlasan?. Aku tak bisa menjawabnya. Sesaat aku pamit pulang Ke rumah. Kutatap langit Di atas masih bertabur titik-titik cahaya. Dingin pun semakin menghembus malam. Kupercepat langkah menuju Rumah sepiku.

tonton juga:



Posting Komentar untuk "CERITA RUMAH SEPI"