Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CAHAYA DI BALIK MENDUNG

 

CERPEN

 
Layar semesta menampakkan wajah awan sedang murung. Tuhan sedang berbicara dengan makhluknya, mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Sudah sepekan ini, cuaca mulai dingin. Seperti kemarin, hujan mulai mengguyur kota selepas ashar. Diluar mulai kelam, orang-orang tampak siap-siap dengan kelengkapan musim hujannya untuk keluar.

            Ba’da ashar, Malik siap-siap untuk keluar. Hasan yang baru saja pulang dari shalat di mesjid tiba-tiba disodori selarik kertas oleh Hasan. “ini, tadi di kampus Halimah beri ini pada saya, katanya untukmu”. Kata Malik sambil menyodorkan lembaran kertas pada sahabatnya. “oh…sukron ya “ jawab Hasan sambil menerima lembaran kertas itu. Malik pun berlalu, derap langkahnya terdengar jelas menuruni anak tangga. Hasan pun beranjak masuk ke kamarnya,  belum stujuh ia membaca lembaran kertas itu, Malik dari bawa berseru “san, saya tadi pinjam pulpenmu sekarang ada di kamarku, oh iya kalau Hajir dan Tina datang, bilang aku pergi duluan. Sukron sebelumnya, assalamu alaikum”. Sambil berlalu keluar halaman bersama motor buntutnya. Hasan hanya tertegung memaklumi sahabatnya yang sudah lima tahun bersamanya. Bahkan lebih dari itu, mereka bagaikan saudara. Kini mereka berdua sama-sama hampir selesai kuliah.

            Gerimis mulai turun, pohon, kayu, dan atap-atap rumah selaksa bertasbih dalam diamnya memuji keagungan Tuhan. Apa jadinya bila gerimis hujan tak ada mungkin manusia tak akan tahu hujan. Seperti biasa setelah shalat ashar, Hasan tadarus di dalam kamar melantungkan ayat-ayat Allah. Sesekali pun suaranya lirih menahan isap manakala melantunkan Arrahman.

            “semua yang ada di bumi itu akan binasa dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu dia dalam kesibukan”. (QS. Ar-Rahman 26-30).

            Sungguh manusia selalu merasa tidak pernah puas akan nikmat-Nya yang telah dianugerahkan pada hamba-hamba-Nya. Sungguh manusia yang beruntung adalah yang terbuka hatinya untuk mensyukuri nikmat Tuhannya yang tak terbatas nilainya. Hujan pun mulai mengguyur kota.

            Selang beberapa lama kemudian di halaman rumah terengar suara motor lagi Malik rupanya kembali bergegas menyelamatkan dirinya dari guyuran hujan dan berlari-lari kecil masuk ke dalam pondokan serta langsung menuju kamar Hasan. Di mulut pintu Malik berdiri mengucap salam “Assalamu alaikum”. “walaikum salam”, jawab Hasan lalu mengusap kitab kecil yang selalu setia di sakunya manakala bepergian.

            “Ah, cuaca sangat buruk sekali. Sepertinya rencanaku batal lagi “. Keluh Malik sambil melangkah masuk ke kamar Hasan dan meneguk sisa teh milik Hasan yang menganga di atas meja belajarnya.

            Malik adalah sahabat Hasan yang sudah kurang lebih tujuh tahun selalu bersama. Sekost, sependeritaan, tinggal di kota menuntut ilmu. Malik adalah anak orang berada di kampungnya. Ayahnya seorang anggota dewan di kampung sedangkan ibunya seorang kepala sekolah SMP. Walau demikian, Malik tak pernah merasa sombong dengan penghidupannya yang boleh dikata lebih dari cukup. Ia lebih suka pas-pasan dan tak pernah menuntut orang tuanya seperti anak-anak kebanyakan.

            Berbeda dengan Hasan sahabatnya, ia anak dari seorang tukang parkir. Ibunya pun hanya ibu rumah tangga biasa, yang berpenghasilan kecil dengan membuka warung kecil di kampung. Dua sisi yang berbeda namun satu dalam tekat “sebuah demi amanah”.

            Hujan masih mengguyur komplek ttujuh kost-kosan Hasan dan Malik sahabatnya. Hujan tiap tahunnya selalu mengirim banjir dan penyakit bagi warga kompleks. Mungkin karena sudah lumrah atau hal biasa dimata pemkot, sehingga hal seperti itu tak perlu jadi persoalan atau mendapat penanganan yang wajar. yang wajar saja tidak, apalagi serius. Nada-nada kecewa seperti itu sering sekali terdengar dari mulut warga manakala hujan tiap tahunnya.

            Suatu waktu, dua tahun yang lalu. Sewaktu Malik terpilih sebagai ketua tokoh pemuda di kompleks, ia pernah menyarankan agar pemuda dan tokoh-tokoh orang tua dan masyarakat kompleks pada umumnya agar tiap sebulan sekali turun ke jalan untuk bersama-sama gotong royong membenahi kompleks. Namun sayang, saran Malik selalu tak mendapat respon yang serius oleh warga, terlebih dari golongan tua. Mereka menganggap bahwa Malik punya kepentingan dibalik semua itu. Akhirnya rencana baik itu hanya cukup jadi rencana saja, tak lebih. Hingga akhirnya Malik lebih memilih untuk keluar dan mengundurkan diri dari organisasi di kompleks itu. Sampai sekarang sekretariat yang dikerja ramai kini tinggal kenangan saja. Seperti wajah manusia yang kaku, dan dipenuhi sarang laba-laba. Tak ada lagi organisasi itu. Pemuda dan kaum tua kini semakin sibuk dengan urusan sendiri-sendiri dan tak lagi seperti dulu. “ waktu terus berlalu dan kenyataan yang dulu hanya jadi kenang-kenangan saja’, kata seorang penyair pada Malik waktu itu. Dan hal itu kini betul-betul terwujud. Kompleks makin kehilangan warna kebersamaan warganya.

            Sudah kurang lebih sejam setengah rintik hujan juga belum redah. Namun langit di upuk timur sudah sedikit terbuka. Seperti terkuak oleh cahaya matahari senja yang sendu. Hujan perlahan berganti wajah menyatu gerimis kecil yang lembut turun ke bumi terbawa sepoi angin senja. Malik yang sedari tadi tergeletak di kasur Hasan, masih tampak kepalanya tertutup bantal. Hasan yang juga sedari tadi selesai membaca surat pemberian Malik pun telah usai menulis balasannya. Sebuah surat dari iye’ dan mamanya di kampung yang  rindu akan Hasan.

            Hasan  berdiri dari kursinya, mendekat ke Malik dan membangunkannya.”Hey… bangun…bangun…hey…sudah hampir maghrib nih.Ayo bangun.” Malik terjaga sambil mengusap-usap kedua matanya. “ sana mandi, siap-siap shalat maghrib. Kita jama’ah di mesjid kampus saja yah ! “. Tegur Hasan membangunkan sahabatnya. Malik pun bangun dan sejenak menenangkan perasaannya. Tampak bibirnya berbisik mengucapkan do’a, dengan kedua tangannya terbuka dan mengusapkan kewajahnya. Hasan melihat sahabatnya demikian pun ikut bersyukur dan memuji kebesaran Allah SWT.

            Pondokan mereka tidaklah jauh dari kampus, jaraknya bisa lebih dekat lagi kalau melewati gang-gang perumahan BTN yang ada di belakang kampus, dibanding lewat jalanan raya. Kebijakan mahasiswa dan mahasiswi yang juga tinggal di kompleks itu lebih memilih lewat belakang bila ke kampus daripada lewat depan. Yah, alasan yang mendasar mungkin karena lebih dekat dan tidak terlalu riuh hiruk karena kebisingan kendaraan.

            Setelah berbenah diri Hasan dan Malik menuju ke mesjid yang ada di kampus. Bila waktu shalat maghrib kebanyakan mahasiswa lebih senang berjamaah di situ. Hal ini juga dikarenakan, setiap ba’da maghrib ada kajian-kajian yang digelar sebagai tambahan ilmu rohaniah mahasiswa sampai menjelang shalat isya. Dan tentunya mereka pun shalat isya berjamaah.

            Selepas berjamaah, Hasan mengajak Malik untuk sejenak silaturrahmi ke pondokan Syuaib, yang letaknya di depan kampus. Biasanya kalau Hasan mengajak Malik untuk silaturrahmi ke pondokan Syuaib, Malik pasti senang. Sebab, Malik memiliki idola di pondokan itu Hajrah namanya. Malik tampaknya suka Hajrah, itu dapat dirasakan oleh Hasan. Sebab tiap kali silaturrahmi, Malik pun langsung menanyakan keberadaan Hajrah pada Syuaib. Dan bila Hajrah ada, sudah dipastikan Malik pasti meminta alasan buang air, dan ujung-ujungnya ada di teras bersama Hajrah. Sebenarnya, Hasan sudah sering mengingatkan Malik tapi dasar anak adanya bila ketemu idola, pasti susah untuk mendengar.

            Sudah berselang tiga puluh menit Hasan bersilaturrahmi di kamar Syuaib, karenanya ia pun pamit. Dan sudah bisa dipastikan Malik sedikit menggerutu dengan waktu. Tapi ia tetap juga harus nurut sama sahabatnya. Mereka pun berdua berpamitan dan kembali ke rumah.

            Hari yang terik, gedung jagad raya bersih menampakkan wajah langit nan biru. Hanya sedikit gulungan awan putih menggantung, bagai kapas-kapas putih menempel tak bergerak. Cuaca hari ini bersahabat lagi. Belum ada tanda-tanda kelam langit yang akan menghadirkan hujan.

            Sekitar pukul sebelas siang, udara bumi raya ruak bercampur debu dan asap kendaraan yang riuh berhamburan di salah satu stasiun terminal kota ini, lalu lalang manusia-manusia riuh bercampur debu dan polusi. Suara-suara pun bercampur bersama angin yang bertiup gerah di bawah terik panas hari. Para pejalan dan penjual tampak tawar menawar harga. Bahasa yang keluar dari mulut orang-orang di sana pun bercampur. Ras, suku, dan agama tak jadi masalah, semua berbaur padu tanpa ada yang terusik. Yang kadang jadi sedikit keributan di tengah-tengah riuhnya terminal hanyalah persoalan menunggu waktu. Kadang ada penumpang yang pindah kendaraan karena tak mampu menunggu lama untuk berangkat, dan kadang ada kondektur yang selalu mengelabui penumpang dengan alasan mobil segera berangkat, walau sebenarnya tidak sama sekali. Dan adapun yang mencoba mengelabui penumpang dengan janji-janji yang kadang menyebalkan calon penumpang, dengan beralasan bahwa tinggal menunggu satu penumpang lagi lalu kendaraan berangkat, atau dengan janji bahwa penumpang sudah cukup sekian orang, tinggal seorang lagi baru berangkat, padahal sebenarnya sang penumpang belum ada sama sekali.

            Kehidupan di stasiun angkutan darat tidaklah jauh beda dengan parlemen. Tak jarang yang mau jujur, menipu, bahkan memaksa dan mencuri. Janji-janji palsupun sudah biasa. Yang penting duit yah, yang penting uang. Apapun caranya, jarang orang-orang  di terminal yang mau berfikir halal atau haramnya. Kehidupan sudah sangat keras betul-betul keras, sehingga tak banyak lagi yang mau berfikir untuk bertindak yang seharusnya.

            Pada suatu pojok terminal itu, Hasan diam-diam menyaksikan riuhnya suasana. Keberadaan Hasan disana karena surat yang kemarin diterimanya. Hari ini dia harus menjemput orang tuanya yang bermaksud datang mencarinya di kota. Tiap mobil yang datang dari daerahnya diamatinya. Kalau-kalau saja orang tuanya berada di dalam sana. Sesekali Hasan melirik jam yang ada dihpnya. Waktu terus bergeser sudah pukul 11:20 menit Hasan terus mengamati tiap-tiap orang yang ada di parkiran mobil wilayah daerahnya.

            Tak berapa lama kemudian sebuah panter hijau datang dan memarkir tepat didepan kios-kios kecil ttujuh Hasan menunggu. Perlahan dari pintu mobil yang terbuka, seorang perempuan setengah baya turun dengan berkebaya hijau yang sangat dikenali betul oleh mata Hasan. “ma’…ma’….” Teriak Hasan setengah keras dan berdiri dari duduknya. Perempuan itu pun berbalik dan mencari suara yang baginya pun sangat dikenalinya. Hasan melompat dari diamnya dan mendekati mamanya, “ Assalmu alaikum ma’…sama siapa ki’ ? “ Tanya Hasan. “walaupun salam, saya sendiri saja.” Jawab perempuan tua itu.

            Beberapa saat kemudian, Hasan membantu mamanya menurunkan barang bawaannya. Hasan menuntun mamanya untuk segera pindah ke ttujuh lain untuk menunggu mobil pete’-pete’ yang menuju jalur ttujuh pondokan Hasan. Kedua ibu dan anak itu pun melesat meninggalkan terminal yang penuh hiruk pikuk berbisingan.

Posting Komentar untuk "CAHAYA DI BALIK MENDUNG"